Uji Formil UU BUMN – Sidang perkara nomor 52/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (16/7/2025) menjadi sorotan publik nasional. Sorotan itu terutama terkait uji formil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Dalam persidangan ini, Bivitri Susanti selaku Pakar Hukum Tata Negara dari STHI Jentera menyampaikan pandangannya. Ia dengan tegas memaparkan kewajiban fundamental DPR dan pemerintah dalam proses pembentukan undang-undang. Menurutnya, DPR dan pemerintah wajib melibatkan publik secara aktif dalam proses legislasi.
Baca Juga : Kasus Chromebook: Melissa Siska Juminto dan Andre Soelistyo Diperiksa Kejagung, Kantor GOTO Digeledah
Uji Formil UU BUMN Partisipasi Publik: Bukan Sekadar Prosedur, Melainkan Hak Konstitusional
Bivitri Susanti menekankan bahwa partisipasi publik dalam pembahasan undang-undang bukanlah sekadar formalitas prosedural, melainkan merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Ia merujuk pada Pasal 28D ayat 3 UUD 1945 yang menyatakan bahwa “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
“Bahwa partisipasi itu bukan soal prosedural, tapi memang hak, bahkan hak konstitusional,” ucap Bivitri di Gedung Mahkamah Konstitusi. “Pasal 28D ayat 3 misalnya, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”
Oleh karena itu, Bivitri menegaskan, hak rakyat untuk terlibat dalam pembahasan undang-undang tidak mensyaratkan status atau jabatan tertentu. Artinya, setiap individu berhak menyuarakan pendapat dan memberikan masukan. Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa DPR dan pemerintah tetap harus menyediakan akses terbuka dan transparan bagi publik, bahkan saat membahas undang-undang yang dianggap kurang menarik.
“Karena ini adalah hak asasi manusia, ruangannya yang harus dibuka dulu. Makanya konteksnya adalah civil and political rights. Ruangannya harus terbuka dulu,” tegas Bivitri. Ia menambahkan bahwa meskipun partisipasi masyarakat minim, yang terpenting adalah upaya maksimal dalam mengumumkan dan membuka ruang partisipasi. “Kalau misalnya ada yang ternyata minim yang ikut, yang penting sudah maksimal diumumkan bahwa sedang ada pembahasan undang-undang ini, silakan. Kalau nanti mau secara digital dan lain sebagainya, bisa juga,” jelasnya.
Sorotan Terhadap Proses Kilat UU BUMN dan Minimnya Publikasi
Dalam konteks UU BUMN yang menjadi objek gugatan, Bivitri menyoroti proses yang terkesan “kilat” dan minimnya akses publik. Menurutnya, publikasi yang memadai menjadi poin krusial untuk memenuhi hak publik dalam pembentukan undang-undang. Ia mengkritik fenomena belakangan ini di mana banyak undang-undang yang tiba-tiba rampung tanpa pemberitahuan atau partisipasi publik yang memadai.
“Jadi, soal pengumuman ini, Yang Mulia, yang luar biasa tahu-tahu selesai, tahu-tahu selesai, akhir-akhir ini begitu ya,” imbuhnya, mengungkapkan kekhawatiran atas transparansi proses legislasi.
Tuntutan Pemohon: Cacat Formil dan Pembatalan UU BUMN
Para pemohon dalam gugatan ini menyatakan bahwa DPR dan pemerintah telah mengejar perubahan UU BUMN secara terburu-buru dan cacat formil, termasuk karena minimnya pelibatan dan partisipasi publik yang bermakna. Oleh karena itu, para pemohon meminta agar Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN tidak memenuhi ketentuan pembentuk undang-undang. Konsekuensinya, mereka menuntut Mahkamah Konstitusi untuk menghapus norma dalam undang-undang tersebut atau menyatakannya tidak memiliki kekuatan hukum tetap.
Sidang ini menjadi penting untuk menegaskan kembali prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak konstitusional warga negara dalam proses pembentukan undang-undang, khususnya terkait transparansi dan partisipasi publik yang bermakna. Hasil putusan MK nanti akan memiliki implikasi besar terhadap legitimasi dan implementasi UU BUMN, serta menjadi tolok ukur bagi proses legislasi di masa mendatang.