Jakarta – Jepang, yang dikenal sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Asia dengan kekayaan budaya dan teknologi, kini menghadapi tantangan serius yang mengancam citra pariwisatanya. Di tengah lonjakan kunjungan turis pasca-pandemi, negara matahari terbit ini kembali disorot dunia sebagai destinasi wisata seks, sebuah penilaian yang bertekad dihapuskan oleh pemerintah.
Baca Juga : Peringatan Dini BMKG: Cuaca Ekstrem Mengancam DKI Jakarta dan Sebagian Besar Indonesia Sepekan ke Depan
Menurut data dari Japan International Transport and Tourism Institute, USA (JITTI), sektor pariwisata Jepang menunjukkan pemulihan yang kuat. Pada tahun 2024, tingkat ekspor wisatawan (kedatangan turis) diprediksi meningkat 4% dibandingkan tahun 2019, mencapai sekitar 36,9 juta wisatawan. Namun, pemulihan ekonomi ini diiringi oleh munculnya isu yang mencoreng, yakni proliferasi aktivitas wisata seks yang melayani turis mancanegara.
Sorotan Dunia terhadap Destinasi Seks di Tokyo
Isu mengenai Jepang sebagai destinasi wisata seks kembali mencuat dan menjadi perhatian media internasional. Dilansir dari The Japan Times, beberapa kawasan di Tokyo, khususnya yang terletak di antara Shin-Okubo dan Kabukicho, menjadi titik fokus praktik prostitusi yang menarik perhatian turis asing.
Kawasan seperti Taman Okubo dilaporkan menjadi lokasi yang paling sering dikunjungi oleh turis dari berbagai negara, termasuk Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Amerika Utara, hingga Eropa, untuk tujuan wisata seks.
Fenomena ini diduga kuat dipicu oleh faktor insentif ekonomi. Sejumlah pekerja seks di kawasan tersebut mengaku lebih tertarik melayani pelanggan asing karena mereka cenderung menawarkan tarif yang lebih tinggi dibandingkan pelanggan domestik. Harga layanan bervariasi, mulai dari 15.000 hingga 30.000 yen (sekitar Rp 1,6 juta hingga Rp 3,2 juta) atau lebih, bergantung pada negosiasi.
Keterkaitan Ekonomi dan Celah Regulasi
Menurut Arata Sakamoto, Kepala Rescue Hub, sebagaimana dikutip oleh The Japan Times dari AFP, penyebab utama maraknya prostitusi pasca-pandemi adalah kondisi ekonomi yang semakin sulit. Tekanan finansial ini mendorong sebagian masyarakat, khususnya perempuan, terjerumus dalam praktik prostitusi sebagai upaya bertahan hidup.
Masalah ini diperburuk oleh lemahnya kerangka hukum yang mengatur prostitusi di Jepang. Saat ini, Jepang tidak memiliki regulasi yang secara ketat melarang praktik prostitusi secara menyeluruh. Selain itu, belum ada hukum yang secara komprehensif melindungi hak-hak pekerja seks. Regulasi yang ada cenderung berfokus pada pemberi layanan prostitusi, bukan kepada pelaku atau pelanggan yang memanfaatkan jasa tersebut.
Kepolisian setempat telah memperingatkan mengenai risiko kesehatan yang ditanggung oleh pekerja seks, termasuk penyakit seksual menular, risiko kehamilan dan aborsi yang tidak diinginkan. Selain itu, risiko yang kini muncul adalah jejak digital yang dapat timbul dari jasa yang mereka tawarkan, mengancam privasi dan masa depan mereka. Kondisi ini tidak hanya menodai citra pariwisata, tetapi juga memunculkan pertanyaan kritis mengenai perlindungan perempuan di Jepang.
Respons Tegas dari Pemerintah
Menanggapi isu yang merusak citra negara ini, Perdana Menteri Jepang, Sanae Takaichi, memberikan tanggapan tegas dan menyatakan komitmen pemerintah untuk memberantas praktik prostitusi.
Melansir dari The Chosun Daily, Takaichi berjanji untuk melindungi martabat perempuan Jepang dan mencegah keterlibatan kelompok kriminal anonim (Tokuryu) dalam bisnis prostitusi tersebut.
“Pernyataan Anda mengenai perlindungan martabat perempuan dan Jepang merupakan kritik yang sangat berbobot. Kami akan berupaya keras memberantas prostitusi,” ujar Takaichi dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat pada 6 November, menanggapi pertanyaan dari anggota partai oposisi.
Lebih lanjut, ia menekankan komitmen pemerintah untuk meninjau ulang langkah-langkah regulasi terkait prostitusi, dengan mempertimbangkan kondisi sosial yang melatarbelakangi masalah ini.
Ancaman Citra Global dan Hak Perempuan
Anggota Partai Demokrat Konstitusional Jepang (CPD), Shiora Fumika dan Yamanaoi, menyoroti bahwa isu wisata seks ini kini telah menjadi masalah global yang krusial.
Menurut Shiora Fumika, fenomena ini dapat memberikan pengaruh besar pada citra pariwisata dan persepsi dunia terhadap Jepang sebagai negara yang kurang melindungi hak-hak perempuan.
Pernyataan senada disampaikan oleh Yamanaoi: “Ini bukan lagi sekadar masalah dalam negeri. Ini masalah yang sangat serius terkait dengan bagaimana perempuan Jepang dipandang di masyarakat internasional.”
Tekanan ekonomi yang menimpa masyarakat, ditambah dengan celah regulasi, telah menciptakan bayang-bayang gelap di balik pulihnya sektor pariwisata Jepang. Pemerintah kini berada di bawah desakan untuk tidak hanya memberantas praktik ilegal, tetapi juga mengatasi akar masalah ekonomi dan memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan.
