Jakarta – Ketegangan serius mencuat antara Pemerintah Jepang dan perusahaan teknologi terkemuka, OpenAI, menyusul peluncuran alat pembuat video kecerdasan buatan (AI) terbarunya, Sora 2. Pemerintah Jepang secara resmi melayangkan teguran keras, meminta OpenAI untuk segera menghentikan praktik yang dianggap sebagai pelanggaran hak cipta masif terhadap karya-karya ikonik dari industri kreatif Jepang, termasuk anime dan manga.
Baca Juga : ANAKANGSA Fenomena Judi: Antara Hiburan, Risiko, dan Gaya Hidup Modern
Langkah tegas dari Tokyo ini menandai konfrontasi besar pertama antara negara dengan warisan budaya kreatif yang kaya melawan gelombang teknologi generatif AI yang semakin canggih.
Sora 2 dan Badai “Reproduksi Langsung”
Sora 2, versi lanjutan dari model generatif video OpenAI, diluncurkan pada 1 Oktober 2025, memicu kehebohan sekaligus kemarahan. Model ini menawarkan kemampuan baru: menghasilkan video beresolusi tinggi 1080p dengan durasi hingga 20 detik, lengkap dengan soundtrack.
Tak lama setelah dirilis, komunitas internet dibanjiri klip video yang secara mencengangkan mampu meniru karakter-karakter terkenal dari warisan budaya pop Jepang. Video-video tersebut menampilkan tokoh seperti Pikachu, Super Mario, Monkey D. Luffy dari One Piece, hingga karakter dari Demon Slayer. Kualitas visual yang nyaris sempurna ini memicu kemarahan, baik di kalangan penggemar maupun kreator.
“Kualitasnya nyaris mustahil dibedakan dari karya asli. Ini bukan sekadar terinspirasi; ini adalah reproduksi langsung,” ungkap seorang animator independen di Jepang, mencerminkan kekhawatiran bahwa karya seni mereka bisa diciptakan ulang dan disalahgunakan tanpa izin atau kompensasi.
Intervensi Pemerintah: Teguran Resmi dan Ancaman Investigasi
Menanggapi krisis hak cipta ini, Kantor Kabinet Jepang, melalui Menteri Strategi Kecerdasan Buatan dan Hak Kekayaan Intelektual, Minoru Kiuchi, mengonfirmasi telah mengirimkan permintaan resmi kepada OpenAI. Surat tersebut menuntut agar OpenAI menghentikan produksi dan distribusi konten video yang meniru karakter berhak cipta dari anime dan manga.
“Warisan budaya kreatif Jepang adalah aset tak ternilai bagi bangsa. Kami tidak akan membiarkan teknologi AI dimanfaatkan untuk menyalin karya-karya ini tanpa izin yang sah,” tegas Kiuchi, seperti dikutip oleh IGN Japan.
Pemerintah Jepang bahkan mengancam akan melakukan investigasi penuh. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Liberal (LDP), Akihisa Shiozaki, mengindikasikan bahwa Jepang siap menggunakan Pasal 16 Undang-Undang Promosi AI yang baru disahkan pada 1 September 2025.
Pasal ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk menuntut penjelasan rinci dari pengembang AI yang dicurigai melanggar hukum, mencakup metode penyaringan konten, cara kerja sistem, hingga mekanisme spesifik untuk menghapus konten yang melanggar hak cipta.
Shiozaki juga menuduh adanya bias dalam mekanisme penyaringan konten Sora 2. Ia menyoroti bahwa AI tersebut dilaporkan bisa dengan mudah memproses karakter Jepang seperti Naruto atau Totoro, namun cenderung menolak permintaan untuk membuat karakter yang dimiliki oleh perusahaan Amerika, seperti Mickey Mouse atau Superman—menimbulkan pertanyaan tentang standar ganda dalam perlindungan hak cipta.
OpenAI Bungkam, Kasus Ini Jadi Preseden Global
Hingga saat ini, OpenAI belum memberikan tanggapan resmi mengenai peringatan keras yang dilayangkan oleh pemerintah Jepang. Kebungkaman ini semakin meningkatkan tekanan, baik dari regulator maupun komunitas kreatif global.
Para analis industri menilai kasus ini memiliki dampak yang melampaui batas negara. “Kasus ini dengan jelas menunjukkan bahwa dunia sedang berjuang mencari keseimbangan etika dan hukum yang baru antara dorongan inovasi AI dan perlindungan mendasar terhadap karya intelektual manusia,” ujar Hiroshi Yamamoto, seorang analis teknologi AI Asia-Pasifik.
Meskipun menunjukkan ketegasan, Jepang sendiri berambisi untuk diakui sebagai salah satu negara paling ramah AI di dunia. Undang-Undang Promosi AI mereka dirancang untuk menekankan kolaborasi antara pemerintah dan industri. Namun, Tokyo kini mengirimkan pesan yang tak ambigu: bahwa upaya kolaborasi tersebut tidak akan mengorbankan perlindungan aset budaya kreatifnya, dan mereka siap mengambil tindakan terbuka terhadap perusahaan yang dianggap tidak kooperatif atau mengabaikan hukum hak cipta.