Home / Nasional / KUHAP Berusia 44 Tahun: Mendesak Direvisi demi Keadilan yang Modern

KUHAP Berusia 44 Tahun: Mendesak Direvisi demi Keadilan yang Modern

KUHAP Berusia 44 Tahun: Mendesak Direvisi demi Keadilan yang Modern

Modernisasi KUHAP Untuk Keadilan – Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Undang-undang ini telah berusia lebih dari 44 tahun. Sejak lahirnya KUHAP, sistem peradilan pidana Indonesia menghadapi berbagai tantangan serius. Tantangan tersebut mencakup pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan sosial yang dinamis. Selain itu, tuntutan terhadap perlindungan hak asasi manusia juga terus meningkat.

Baca Juga : Jaga Stabilitas Ekonomi, Jawa Barat Padukan Tradisi dan Digitalisasi

Aturan yang dulu dianggap sebagai tonggak reformasi hukum pidana ini kini mulai menunjukkan berbagai kelemahan. Hal ini berpotensi menghambat terwujudnya peradilan yang adil dan efisien. Banyak kasus menunjukkan bahwa ketidakseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dan hak-hak individu masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.

Modernisasi KUHAP Untuk Keadilan

Di tengah hukum modern yang terus bergerak, kebutuhan akan sistem peradilan yang lebih adaptif semakin mendesak. Proses penegakan hukum harus mampu menjawab tantangan zaman, seperti meningkatnya kejahatan siber, penyalahgunaan kewenangan, serta peran teknologi dalam penyelidikan dan pembuktian. KUHAP yang sudah berusia lebih dari empat dekade ini jelas tidak lagi selaras dengan tuntutan tersebut. Oleh karena itu, revisi menjadi keharusan agar Indonesia memiliki hukum acara pidana yang lebih modern dan responsif terhadap perkembangan zaman.

Reformasi ini bukan hanya sekadar pembaruan norma hukum, tetapi juga mencakup peningkatan sistem pengawasan serta jaminan perlindungan bagi tersangka, korban, dan saksi. Komisi III DPR RI sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP sebagai upaya merevisi KUHAP. Proses ini menjadi momen penting untuk menata ulang mekanisme peradilan pidana agar lebih adil, transparan, dan akuntabel. Namun, pertanyaan mendasar yang muncul adalah, apakah draf RUU KUHAP saat ini sudah cukup menjawab tantangan zaman? Apakah revisi ini benar-benar membawa perubahan signifikan dalam menciptakan sistem peradilan yang lebih progresif?

Celah dan Tantangan dalam KUHAP Lama

Salah satu kelemahan utama dalam KUHAP yang berlaku saat ini adalah lemahnya pengawasan terhadap tindakan upaya paksa oleh aparat penegak hukum. Penyidik mendapat kewenangan besar dari KUHAP untuk melakukan penangkapan, penahanan, dan penggeledahan. Namun, sistem hukum belum menyediakan mekanisme pengawasan yang memadai untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Hukum Indonesia belum mengatur kewajiban menghadapkan tersangka ke hakim dalam 24 jam setelah penangkapan. Ketentuan yang tidak jelas ini menciptakan celah besar bagi aparat untuk melakukan penahanan sewenang-wenang. Sementara itu, banyak negara yang menerapkan prinsip habeas corpus mewajibkan aparat segera membawa individu yang ditangkap ke hadapan hakim untuk memastikan legalitas penahanannya. Sayangnya, dalam sistem hukum pidana Indonesia, pengawasan seperti ini masih belum menjadi standar wajib, sehingga meningkatkan risiko pelanggaran hak asasi tersangka.

Selain itu, KUHAP saat ini juga kurang memberikan perlindungan memadai terhadap hak-hak tersangka, terdakwa, dan korban. Banyak laporan menunjukkan bahwa tersangka sering mengalami penyiksaan atau intimidasi selama pemeriksaan tanpa adanya mekanisme pengawasan yang efektif. Praktik ini bertentangan dengan prinsip due process of law, yang menjamin bahwa setiap individu yang berhadapan dengan hukum harus diperlakukan secara adil dan bebas dari tekanan fisik maupun psikologis.

Di sisi lain, hak korban juga kerap terabaikan dalam sistem peradilan Indonesia. KUHAP tidak mengatur secara rinci mekanisme kompensasi atau restitusi bagi korban kejahatan. Korban sering kali hanya menjadi bagian dari proses hukum tanpa memperoleh keadilan yang seharusnya mereka dapatkan. Berbagai sistem hukum modern telah mengadopsi konsep victim-centered justice untuk memperkuat hak korban dalam proses peradilan. Sistem tersebut memberikan korban akses terhadap informasi kasus, memungkinkan partisipasi dalam persidangan, dan menjamin hak atas pemulihan yang layak.

Terakhir, peran advokat dalam proses hukum juga masih sangat terbatas dalam KUHAP yang berlaku saat ini. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang bagaimana RUU KUHAP akan mengatasi semua kelemahan krusial ini untuk menciptakan sistem peradilan yang benar-benar berpihak pada keadilan dan hak asasi manusia.